Oleh:
Drh. Sumarno, MM
Widyaiswara Madya (IV/c) PPMKP Ciawi – Bogor
Pendahuluan
Secara umum, pelatihan (training) sumberdaya manusia dimaksudkan untuk menanggalkan segala persoalan kinerja yang mengalami defisiensi (performance deficiencies). Penyakit ini menyebabkan pekerja tidak dapat menunjukkan performans kerja pada level yang telah distandarisasikan organisasi. Oleh karena itu, pekerja menjadi tidak produktif, sehingga mengakibatkan organisasi mengalami stagnasi dan bahkan penurunan produktivitasnya.
Dalam konteks yang demikian itulah, pelatihan memiliki posisi strategis guna meningkatkan kinerja dan kapabilitas pekerja. Namun demikian ada sejumlah studi yang menunjukkan bahwa fungsi penting pelatihan menjadi tidak efektif karena berbagai sebab. Salah satu sebab yang menonjol mengarah pada sikap pimpinan yang tidak mengalami proses pentahapan program pelatihan secara disiplin. Indikasi ini diantaranya terlihat dari diabaikannya salah satu tahap pelatihan yaitu assessment phase yang substansinya dihasilkan lewat training need assessment atau training need analysis (TNA). TNA berfungsi sebagai fundamen informasi bagi pimpinan dalam menetapkan program pelatihan dalam segala formatnya. Pengabaian terhadap tahap assessment boleh jadi disebabkan oleh faktor yang sangat fundamental dimana pimpinan tidak memahami betul tentang TNA.
Tahap Pelatihan
Beberapa ahli telah menetapkan pelatihan menjadi tiga tahapan integratif yaitu assessment phase, implementation phase dan evaluation phase. Menurut Schuler (Human Resource Management, 1992) assessment sebagai tahap yang sangat penting untuk menentukan kebutuhan apa saja yang harus diakomodasikan dalam pelatihan termasuk juga bagaimana format dan desain pelatihan yang akan diimplementasikan. Tahap ini diharapkan sebagai pengarah bagi tahapan latihan lainnya.
Tahap kedua pelatihan adalah mengimplementasikan semua keputusan tentang pelatihan yang dihasilkan dari tahap pertama. Selain menterjemahkan setiap informasi hasil tahap pertama, dalam tahapan ini pimpinan juga membuat strategi tentang bagaimana pelatihan secara teknis dilaksanakan. Strategi ini mencakup sejumlah persoalan yang berkaitan dengan isi dan proses pelatihan termasuk juga tentang penetapan lokasi, waktu, pelatih dan seterusnya.
Sedangkan tahap ketiga yakni tahap evaluasi pelatihan yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa pelatihan yang dilaksanakan telah mencapai target yang telah ditentukan. Oleh karena itu, kegiatan utama pimpinan dalam tahap ketiga ini adalah mengadakan pengukuran sampai sejauh mana efektivitas pelatihan dapat dicapai.
Korelasi ketiga tahapan integratif tersebut menjelaskan bahwa penentuan substansi pelatihan dan proses transformasi kebutuhan ke dalam tahapan implementasi akan menghasilkan sebuah program yang tidak sekedar disiplin atau taat asas, namun lebih dari itu pada akhirnya dapat membuahkan hasil pengukurannya. Stone (Human Resource Management, 1998) menambahkan jika tahap assessment tidak cukup diperhatikan, pelatihan boleh jadi tidak akan konsisten dengan kebutuhan aktual. Sayangnya dalam banyak kasus, menurutnya sangat banyak pimpinan bahkan pada organisasi besar yang cenderung mengabaikan tahap pertama ini.
Faktor Kebutuhan Pelatihan
Pelatihan dapat dipahami sebagai sarana perubahan untuk meningkatkan skills, knowledge dan ability (SKA) para pekerja. Desakan untuk meningkatkan kinerja baik individual maupun kelompok umumnya disebabkan oleh beberapa faktor. Cushway (Human Resource Management: Planning, Analysis, Performance, Reward, 1994) misalnya menyatakan bahwa kebutuhan pelatihan pada umunya didasari oleh munculnya sejumlah fenomena internal dan eksternal organisasi seperti staff turnover, perubahan teknologi, perubahan dalam pekerjaan, perubahan peraturan, perubahan dan perkembangan ekonomi, cara dan prosedur baru dalam bekerja, market pressures, kebijakan pemerintah, keinginan pekerja, performance variations, dan equality of opportunity. Menurut Cushway, setiap organisasi selalu dihadapkan pada situasi tersebut di mana kebutuhan pelatihan untuk mengantisipasinya menjadi tidak terelakkan.
Lebih lanjut Hyman (dalam The handbook of Human Resource Management, 1994) merumuskannya ke dalam dua kelompok, yaitu structural factors dan occupational factors. Menurutnya, faktor-faktor struktural meliputi degradasi kualitas skills dan pekerja, hadirnya teknologi baru, tekanan-tekanan kompetisi, target-target pencapaian kualitas, dan management style. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor-faktor occupational meliputi komitmen pengusaha (the positive reception by employers) kemudian diikuti dukungan pimpinan senior yang secara sadar mengakui betapa ada keterkaitan erat antara pelatihan dan peningkatan kinerja, dan harapan akan adanya perubahan status personnel dalam hierarki manajerial yang secara signifikan meningkat setelah mengikuti pelatihan.
Persoalan kini adalah bagaimana organisasi dapat memilah secara selektif sejumlah fenomena dan faktor tersebut. Disinilah peran TNA mulai menampakkan dirinya.
Makna dan Fungsi TNA
Dalam menyikapi datangnya sejumlah perubahan, organisasi acapkali mengatasi persoalan dan tekanan yang muncul dengan tetap mempertahankan status quo. Namun demikian, lazimnya organisasi harus menghadapinya dengan suatu respons khusus dan menyadari bahwa perubahan tersebut harus pula diikuti dengan program pelatihan baru. Dalam hal ini pimpinan hendaknya mengetahui secara tepat tentang dua hal pokok: symptoms of the need for change dan cause of those symptoms.
Sebuah symptoms of the need for change adalah sebuah masalah yang kemungkinan muncul dari beberapa sumber. Sedangkan sebuah cause of the symptom adalah sebuah faktor yang harus diubah sedemikian rupa untuk mengeliminasi symptom atau problem tersebut.
Pencandraan terhadap dua hal pokok tersebut membutuhkan suatu model diagnosis yang dapat merinci setiap persoalan dan kebutuhan. Dalam hal ini, TNA diakui sebagai suatu model yang didesain untuk menentukan the cause yang telah memunculkan symptom tersebut. Dengan demikian, Camp & Huszezo (Toward a more Organizationally Effective Training Strategy and Practice, 1986) memaknai TNA sebagai the examination or diagnostic portion of the training system. Symptom yang diuji oleh TNA acapkali merujuk pada persepsi performance deficiencies yang timbul manakala terdapat perbedaan antara expected dan perceived job performance.
Sementara itu Tovey (Training in Australia, 1997) mendefinisikan makna TNA sebagai process of asking question, getting answers to them and veryfing, and documenting business problems which training can solve. Pengertian teknis ini mengartikan bahwa persoalan bisnis yang dapat dipecahkan melalui pelatihan berkaitan dengan situasi dimana pekerja sebagai learners memiliki kesenjangan SKA untuk melakukan tugas dan pekerjaannya. Dengan demikian, menurut Tovey, TNA pada dasarnya merupakan a process of comparing the actual performance of individuals with the standard of performance at which they are expected to operate. Berdasarkan makna yang demikian inilah, TNA memiliki berbagai fungsi yang meliputi : (1) collect information on the skills, knowledge, and feeling of the performer, (2) collect information on the job content and context; (3) defined the desired and actual performance in useful detail; (4) involve stakeholders and build support; (5) provide data for planning.
Sekalipun demikian, haruslah diingat bahwa analisis kebutuhan ini hanyalah merupakan sebuah cara sistematik untuk mengidentifikasi masalah bisnis, lingkungan pekerjaan, kinerja, serta kebutuhan pelatihan. Oleh karena itu, Sofo (Human Resource Development, 1999) mengemukakan bahwa focus TNA bukanlah solution based namun tertuju pada klarifikasi dan pembatasan sejumlah kebutuhan pokok dalam program yang akan disusun.
Jenis TNA
Sebagai suatu proses kerja, secara umum TNA dapat dikatagorikan ke dalam dua jenis, yaitu : reaktif dan proaktif. TNA reaktif menurut Camp & Huszezo dapat terjadi bila perceived performance deficiency is a discrepancy between perceived and expected performance for the employees current job. Sesuai dengan namanya, TNA jenis ini sifatnya reaktif dimana acap terjadi perbedaan tingkat persepsi diantara para pengambil keputusan. Beberapa organisasi memandang perbedaan kinerja standar dengan actual sebagai hal yang lumrah, sementara sebagian lainnya menganggapnya sebagai suatu persoalan penting. TNA reaktif dengan demikian sifatnya sangat subyektif.
Berbeda halnya dengan TNA proaktif, TNA jenis ini didesain to respond to the perception that current job behavior reflects an inability to meet future standarss or expectations. Sesuai dengan namanya pula, TNA ini mencoba bersikap proaktif atas sejumlah fenomena dimana semuanya diarahkan pada refleksi kemampuan kinerja pekerja terhadap standard dan harapan yang sangat mungkin akan mengalami perubahan di masa mendatang. Terdapat dua varian dalam TNA proaktif ini, yaitu preventive approach dan developmental purpose. Pendekatan preventif dalam TNA proaktif sengaja didesain untuk meyakinkan bahwa seorang pekerja akan dapat memenuhi future expectations dari current job nya. Sedangkan developmental purpose merupakan buah hasil persepsi pimpinan sebagai supervisor yang menilai kemampuan pekerja di masa mendatang berdasarkan potensi yang kini dapat dilihat dan kelak dapat dikembangkan pada higher level position. Berdasarkan persepsi itulah pimpinan mendesain pelatihan untuk pekerja tersebut.
Proses TNA
Penyusunan TNA merupakan sebuah proses yang sangat kompleks. Pimpinan melibatkan sejumlah kegiatan yang tidak mungkin dilakukan secara internal untuk menghindari ekses subyektivitas dalam memahami kerangka persoalan. Untuk kesuksesan program pelatihan, TNA harus ditetapkan secara carefully analysed, skillfully developed dan artfully presented. Harus diingat bahwa TNA merupakan fundamen informasi bagi pimpinan untuk merancang program pelatihan.
Persoalan yang tidak boleh diabaikan adalah validitas informasi yang dihasilkan TNA. Oleh karena itu pimpinan setidaknya harus bersikap carefully planned dan melaksanakan dengan penuh disiplin serta mengikuti kaidah-kaidah procedural yang inheren dalam proses TNA itu sendiri.
Proses TNA
1. Document the request/problem
Dalam tahapan proses pertama ini, pimpinan berupaya menemukan sebanyak mungkin persoalan dan kemudian mendokumentasikannya, sehingga akhirnya dapat dibuat a considered decision tentang berbagai isu dan bagaimana hal itu dapat mengarahkan pada suatu tindakan analisis. Salah satu cara terbaik untuk melakukan tahap pertama ini adalah melalui wawancara dengan beberapa staf atau pihak tertentu yang diperkirakan terlibat dengan munculnya sejumlah isu permasalahan. Beberapa informasi penting yang dapat diperoleh dari tahapan ini misalnya deskripsi lengkap persoalan, sejarah singkat munculnya persoalan, kapan dan bagaimana persoalan terjadi, dampak persoalan terhadap pekerja dan unit organisasinya, tindakan yang siap dilakukan, serta mengapa pimpinan dan staf memandang fenomena tersebut sebagai suatu persoalan.
2. Investigate the request/problem
Setelah memperoleh rumusan yang jelas tentang isu persoalan yang muncul, kini saatnya pimpinan menginvestigasi segala kemungkinan yang menjadi penyebab serta apa duduk persoalan yang sebenarnya. Investigasi permasalahan tidak dilakukan secara indepth, tetapi sudah dianggap cukup memadai jika memungkinkan pimpinan membuat verifikasi bahwa memang telah terjadi persoalan serius dan kemudian memutuskan apakah pelatihan diperlukan atau tidak untuk mengatasinya.
3. Plan the need analysis
Setelah menginvestigasi persoalan dengan seksama, giliran pimpinan memulai merencanakan membuat kerangka analisisnya. Dalam hal ini pimpinan mengidentifikasi pelaksanaan analisis itu sendiri berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu urgensi persoalan, kapasitas pimpinan dalam konteks penyelesaian masalah, akses terhadap beberapa pihak yang dapat diajak konsultasi, serta segala sesuatu berkaitan dengan sarana pendukung untuk membuat analisis. Tovey memberikan sebuah outline yang mungkin dapat digunakan untuk melakukan analisis, yaitu (a) identify what it is you want to achieve, (b) identify the main task of the analysis, (c) divide the main task into subtasks, (d) identify the human resource available, (e) identify which human resource could do what task, (f) reviews the dates and timeframe available, (g) schedule the human resource to perform tasks within the available timeframe, (h) review the plan to ensure it covers all your requirements (i) you may need to revise some of your plans before putting the into effect in light of the outcomes of the above steps.
Dalam tahapan proses ketiga ini perlu ditambahkan adanya tiga level TNA yang meliputi :
i. Organizational analysis
Analisis ini berhubungan dengan kebutuhan organisasi secara keseluruhan diikuti dengan identifikasi bagaimana pelatihan dapat dieksploitasi sedemikian rupa untuk mencapai tujuan organisasi. Analisis ini berupaya memahami apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh organisasi.
ii. Job analysis
Analisis jabatan ini dapat dikaitkan dengan kebutuhan terhadap pekerjaan tertentu dalam organisasi dan dapat digunakan sebagai informasi tentang substansi utama pekerjaan tersebut untuk selanjutnya dikembangkan standar kinerja. Disamping itu juga dimungkinkan untuk mengidentifikasi tingkat SKA yang dibutuhkan untuk mencapai standar yang ditentuikan.
iii. Person analysis
Pada level ini pimpinan dapat mengkaitkannya dengan kebutuhan individual dalam organisasi dan sampai sejauh mana kinerja yang telah dicapainya.
4. Select the analysis techniques
Tahapan proses ini sangat penting artinya karena pimpinan menetapkan dengan teknik apa analisis akan dilakukan. Pemilihan teknik analisis ini harus dilakukan dengan secermat mungkin untuk memastikan bahwa pimpinan akan memperoleh informasi seakurat mungkin dan memastikan pula bahwa data yang diperoleh adalah sesuai dengan teknik analisisnya. Terdapat berbagai macam pilihan teknik analisis misalnya survey of organizational data, surveys dan questionnaires, observations, performance appraisal, work sample dan seterusnya.
5. Conduct the analysis
Dalam tahapan ini pimpinan harus menginformasikan kepada semua pihak yang terlibat tentang jadwal pelaksanaan analisis sekaligus memperoleh izin dari pihak yang berkompeten. Pada tahap ini pimpinan memiliki kesempatan untuk mengembangkan segala kemungkinan atas bentuk format analisis sebagai laporan kepada pimpinan senior.
6. Analyse the data
Analisis data harus sesuai dengan metode pelaporan yang lazim digunakan secara umum karena akan dibaca oleh pihak lain.
7. Report the finding
Sebagai tahapan terakhir, pimpinan membuat laporan tentang temuan sekaligus rekomendasi pemecahan persoalan. Umumnya format laporan ini berisi daftar isi yang sebelumnya disertai halaman depan; perubahan; rekomendasi; rencana pelatihan; latar belakang, temuan dan konklusi; metode analisis dan pengumpulan data; serta analisis biaya, usulan biaya terhadap solusi yang direkomendasikan.
Penutup
Pemahaman terhadap makna TNA sangatlah penting mengingat dengan TNA pimpinan dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang persoalan yang muncul dikaitkan dengan kebutuhan pelatihan untuk mengatasinya. Selain itu, kemungkinan diperolehnya informasi isu di luar masalah pelatihan dapat diperoleh melalui serangkaian proses TNA. Dengan TNA pula akan didapat gambaran standar kinerja yang diperlukan serta apa saja yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan learning outcomes dan learning objectives.
Apa yang seharusnya dicatat dari bahasan ini adalah produk akhir TNA haruslah berupa seperangkat behavioral objectives yang komprehensif yang memberi arah bagi upaya pemograman pelatihan secara utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Agency for Agricultural Education, Training and Extension. 1985.A Guide for Formulating Competency Based Curriculum and Skill Package. AAETE. Minstry of Agriculture. Jakarta .
Badan Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan Pertanian. 1988. Penuntun Evaluasi Performansi (Latihan berdasarkan kompetensi kerja di bidang Pertanian). Percetakan dan Perwajahan PT Gramedia. Jakarta.
Camp. L.A & Huszeco.M.D. 1986. Toward a More Organizationally Effective Training Strategy and Practice. Western Australia Paradigm Books.
Cushway. L.D. 1994. Human Resource Management: Planning, Analysis, Performance, Reward. Ronald Press. Iowa
Hyman. M.C. 1994. Handbook of Human Resource Management. Western Australia Paradigm Books.
Lunardi.A.G. 1984. Pendidikan Orang Dewasa. Penerbit PT ramedia Jakarta.
Nankervis, Campton & McCarthy. 1993. Modern Theory and Methode in Group Training. University Associates. La Jolla.
Pine.G.J & P.J.Horne. 1999. Principles and Condition for Learning in Adult Education. Paulist Press. New York.
Raymond. J.S. 1995. Adult education in Developing Countries. Pergamon Press. Oxford.
Schuler. A. M. 1992. Human Resource Management. Hill Press. Australia
Sedere,M.U. 1987. Performance Evaluation for Agricultural Training – A Workshop Report – Food and Agriculture Organization. Jakarta
Stone. S.M. 1998. Human Resource Management Practice. Perfect Press. Oxford.
Tovey.M.D. 1997.Competency Based Training. NTL Institute for Applied Behavioral Science.