Posted in Berita on Oct 20, 2014.

Oleh:

Drh. Sumarno, MM

Widyaiswara Madya (IV/c) PPMKP Ciawi

Penyempurnaan system pendidikan dan pelatihan perlu dilanjutkan dan dikembangkan. Hal ini antara lain disebabkan adanya pengaruh globalisasi otonomi daerah, tantangan pasar kerja serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK); adanya paradigma baru mengenai adanya kemudahan dalam memasuki system pelatihan apa saja, karena standar kompetensi tersebut berlaku umum di Negara mana saja

Dalam tradisi human resource development, nilai-nilai kompetensi seorang pekerja dapat dipupuk melalui program-program pendidikan, pengembangan atau pelatihan. Program pelatihan misalnya merupakan sebuah cara terpadu yang diorientasikan pada tuntutan kerja terkini, dengan penekanan pada pengembangan skills, knowledge dan ability (SKA). Seorang pekerja yang mampu meraih SKA terbaru secara signifikan akan dapat meningkatkan kompetensinya. Kompetensi yang telah meningkat inilah diharapkan dapat digunakan untuk memenuhi standar perilaku dalam sistem dan proses kerja yang diterapkan. Disini terdapat kaitan erat antara pencapaian kompetensi pribadi dengan program pelatihan.

Upaya memupuk kompetensi seorang pekerja dapat dilakukan melalui penciptaan sebuah sistem yang mengintegrasikan antara kebutuhan individu (dalam kerangka interes organisasi) dengan program pelatihan. Sistem tersebut dikenal sebagai Competency Based Training (CBT). Menurut  Michael D Tovey (1997) CBT is system of training which is geared toward specific outcome. Produk yang dihasilkan CBT diarahkan pada peningkatan skill dan kinerja sesuai dengan standar system dan proses kerja. Menurut Tovey, CBT hanya  sebuah pendekatan dalam pelatihan namun mendasarkan dirinya pada  teori pembelajaran perilaku yang menggunakan tujuan pelatihan itu sendiri sebagai acuan dan dapat diukur hasilnya pada saat pelatihan itu berakhir.

Arah pokok

CBT diarahkan pada persoalan-persoalan pokok yang selama ini menjadi perbincangan hangat dalam program pelatihan yaitu skill, kompetensi dan standar kompetensi. CBT memberi makna baru terhadap pengertian ketiga arah pokok tersebut. Berdasarkan makna spesifik inilah CBT dapat dibedakan dengan program-program pelatihan lainnya.

Selama ini skill dipandang sekedar sebagai keahlian kasat mata dan bersifat fisik. Program CBT mengartikan skill tak hanya berkaitan dengan keahlian seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang bersifat tangible. Selain physical, makna skill juga mengacu pada persoalan mental, manual, motor, perceptual dan bahkan social abilities seseorang. Dengan demikian,  makna skill dipahami secara utuh sebagai kombinasi dari beberapa kemampuan kerja fisik dan non fisik dalam kaitannya dengan aplikasi perolehan pengetahuan baru.

Pembicaraan tentang kompetensi juga acap tidak mengena pada sasaran pokok karena maknanya belum dipahami secara baku. Seseorang dapat dikatagorikan sebagai pribadi yang ” kompeten ” jika ia memiliki kemampuan untuk menangani suatu tugas sesuai dengan standar yang ditetapkan. Kompetensi diri haruslah dapat didemonstrasikan secara individual (bukan kelompok) berdasarkan kriteria pencapaian ideal level of performance. Adanya kesesuaian antara demonstrasi kompetensi dan ideal level of performance merupakan acuan dasar untuk dapat mengatakan bahwa sosok pribadi tertentu telah memiliki kompetensi atau sebaliknya.

Substansi sebuah kompetensi meliputi beberapa aspek yang merupakan pengembangan dari pengertian-pengertian kompetensi sebelumnya.  Menurut Tovey, konsep kompetensi setidaknya meliputi tiga hal yaitu:

1.    Sebuah kerangka acuan dasar, dimana kompetensi dikonstruksikan melibatkan pengukuran standar yang diakui oleh kalangan industri yang relevan. Hal ini mengindikasikan terjadinya kesepadanan antara kemampuan individu dengan standar kompetensi yang ditetapkan oleh kalangan industri sebagai user.

2.    Sebuah kompetensi tak hanya sekedar dapat ditunjukkan kepada pihak lain, namun juga harus dapat dibuktikan dalam menjalankan fungsi-fungsi kerja. Tidaklah cukup bagi pekerja untuk menguasai pengetahuan tertentu yang diperoleh lewat pelatihan. Mereka harus  menyadari bahwa pengetahuan tersebut adalah sebagai nilai tambah  untuk memperkuat organisasi lewat peran-peran nyata dalam bekerja.

3.    Kompetensi merupakan sebuah nilai yang merujuk pada satisfactory performance of individual. Dengan demikian, kompetensi bukanlah sebuah    “ lembaga “ yang memberikan sertifikat sebagaimana sekolah  memberikan ijasah pada lulusannya tanpa tahu bagaimana ijasah tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kompetensi memiliki kaitan erat dengan kemampuan melaksanakan tugas-tugas yang merefleksikan adanya persyaratan-persyaratan tertentu.

Isu penting lainnya adalah persoalan standar kompetensi (competency standars) sebagai arah pokok CBT. Pengembangan sebuah standar kompetensi merupakan otoritas kalangan industri yang melibatkan pengusaha, serikat sekerja, para ahli (pendidikan) pemerintah, serta organisasi-organisasi profesional terkait lainnya. Isu ini begitu pentingnya terutama untuk Indonesia di mana pemerintah acap dibuat prihatin dengan munculnya lembaga-lembaga pelatihan yang hanya ”manis di bibir tapi pahit di hati ”. Sudah saatnya pemerintah menetapkan standar kompetensi tertentu untuk menepis lembaga-lembaga pelatihan yang sebetulnya tidak memiliki substansi peningkatan kompetensi apapun.

Melalui program CBT, efektivitas sebuah pelatihan akan benar-benar teruji.  Pengelola organisasi akan dapat mengukur efektivitas tersebut karena CBT mensyaratkan penyelenggaraan pelatihan bisa memastikan bahwa penyampaian materi pelatihan, proses-proses penilaian peserta dan pelatih (assesment procceses), serta sertifikasi atas hasil pelatihan itu sendiri diatur oleh lembaga yang memiliki otoritas atau diatur oleh suatu peraturan tertentu. Sistem yang demikian ini dimaksudkan agar ada kepastian bahwa pelatihan yang diadakan memang memiliki makna signifikan terhadap peningkatan kompetensi.

Karakter CBT

CBT merupakan sebuah pola yang berbeda dengan program-program pelatihan lainnya karena memiliki sejumlah karakteristik tertentu. Selama ini manajer pelatihan mengembangkan sebuah program pelatihan hanya berdasar atas asumsi-asumsi tradisional di mana pelatihan itu sendiri dianggap sebagai sekedar  kewajiban. Integrasi antara kepentingan-kepentingan organisasi dan individu di pihak lainnya luput dari fokus perhatian sehingga tak jarang program pelatihan tersebut tidak memiliki makna sama sekali.

Menurut Tovey, setidaknya ada delapan karakteristik CBT:

1.    Memfokuskan diri pada aspek yang spesifik yaitu skills yang dapat diaplikasikan. CBT memfokuskan diri pada apa yang dikonsepkan sebagai what the learner can do. Tujuan utama CBT adalah memfasilitasi peserta untuk mencapai kompetensi sesuai standar dan berfokus pada keluaran (output).

2.    Pengakuan terhadap hasil pelatihan-pelatihan sebelumnya (recognition of pralearning). Salah satu keunggulan CBT adalah memberi pengakuan yang proporsional atas keahlian seseorang yang diperoleh lewat pelatihan-pelatihan sebelumnya. CBT mengabaikan beberapa masalah seperti bagaimana pelatihan itu diadakan, oleh siapa, dimana, kapan dan seterusnya. CBT justru mengeksplorasi hasil pelatihan-pelatihan tersebut untuk dijadikan pedoman melatih peserta. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana individu mendapat pengetahuan dan keahlian baru sebagai nilai tambah untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan.

3.    Fleksibel dalam isi materi (multiple entry and exit point). CBT menekankan arti penting fleksibelitas dalam setiap bentuk kegiatan.  Tidak ada pemaksaan dalam setiap perancangan skema pelatihan tertentu yang akan diterapkan kepada pekerja. Dengan demikian kepada CBT juga menyiratkan makna bahwa individu hanya membutuhkan pembelajaran hanya tentang apa yang mereka belum mengetahuinya dan yang tidak dapat  dikerjakannya.

4.    Menggunakan sistem modul (modular training). Guna menunjang fleksibilitasnya, CBT didesain dalam format sistem modul yang memungkinkan terjadinya pemisahan-pemisahan materi atau topik pelatihan secara efektif. Sistem modular juga memungkinkan individu untuk mempelajari materi khusus yang berkaitan dengan kebutuhannya dan melakukan loncatan (skipping) terhadap materi yang tak dibutuhkannya. Dengan CBT peserta membutuhkan waktu yang relatif lebih singkat daripada mengikuti bentuk pelatihan konvensional lainnya.

5.    Penciptaan standar yang  terreferensi (criterion referenced).  Penekanan makna bahwa kompetensi memfokuskan diri pada hasil atau apa yang dapat dilakukan individu  menumbuhkan tuntutan adanya  penciptaan suatu standar yang diakui oleh semua pihak yang berkepentingan misalnya kalangan industri.

6.    Orientasi individual. CBT berorientasi pada kebutuhan individual dalam kerangka kepentingan  organisasional. Pelatihan diharapkan tak sekedar merupakan program yang hasilnya menghendaki agar sebuah program pelatihan mampu membangun sebuah kepribadian tangguh untuk dapat mengantisipasi setiap perubahan.

7.    Dapat diaplikasikan (immediate application). Segera setelah program pelatihan selesai CBT menghendaki agar  pengetahuan dan keahlian baru dapat segera dipraktekkan untuk menunjang setiap tugas dan pekerjaan. Ukurannya jelas, jika kinerja pekerja tidak meningkat berarti pelatihan gagal.

8.    Fleksibilitas dalam penyampaian  (flexible delivery). CBT juga fleksibel dalam makna bagaimana topik-topik secara efektif dapat disampaikan kepada peserta. CBT membuka kemungkinan pada setiap bentuk pelatihan di dalam atau di luar perusahaan menggunakan instruktur internal atau eksternal dan seterusnya.

Nilai lebih CBT dibanding dengan sistem pelatihan lain boleh jadi terletak pada sejumlah karakteristiknya. Perbedaan pokok tersebut menyebabkan CBT memiliki keunggulan yang dapat diandalkan organisasi untuk menyusun program pelatihan.

Pemantapan CBT.

Penyusunan program CBT terdiri beberapa tahap. Menurut Raymond J Stone (1995) pentahapan CBT terdiri dari langkah-langkah seperti berikut:

1.    Capability profiling. Dalam tahap ini organisasi melakukan beberapa hal yaitu:

·         Identifikasi kebutuhan kompetensi

·         Membuat skala prioritas atas kebutuhan kompetensi.

·         Mengevaluasi standar kompetensi

·         Mengidentifikasi kekuatan dan ” area ” masalah yang membutuhkan perhatian untuk diperbaiki.

2.    Select training programme. Dalam tahapan ini organisasi mulai menyusun pilihan bentuk pelatihan yang tepat untuk mendukung pencapaian tujuan.

3.    Produce a personal training plan for each employee. Di sinilah makna penting CBT dimana kebutuhan individu menjadi prioritas utama. Dalam tahap ini organisasi menyusun kerangka dasar yang diorientasikan pada peringkat individual.

4.    Asses the competency. Dalam tahap terakhir ini organisasi dianjurkan untuk terus memantau setiap perkembangan kinerja, dilanjutkan segera setelah pelatihan berakhir, dilanjutkan dengan aplikasinya oleh peserta.

Menurut Stone, beberapa pakar telah meluaskan makna pelatihan bersistem CBT untuk melibatkan pengetahuan dan keahlian ke dalam suatu upaya pendefinisian efektivitas manajerial dan menggunakan penilaian kompetensi ke dalam fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia lainnya seperti rekruitmen, seleksi, performance appraisal dan perencanaan.

Model Strategik CBT

Segera setelah organisasi menyusun analisis integral tentang situasi organisasional dan tugas-tugas yang ditetapkan, langkah penting lanjutan harus segera diagendakan. Adalah sangat penting untuk menentukan SKA yang dibutuhkan untuk merespon hasil analisis tersebut. Dengan demikian  juga sangat mendesak artinya untuk menentukan skema pelatihan yang dianggap prospektif.

Sebuah model strategik telah  diciptakan untuk mengimplementasikan CBT bagi organisasi. Nankervis, Campton & McCarthy (1993) misalnya telah menawarkan sebuah model strategik yang dapat diadopsi organisasi dalam melaksanakan program CBT. Ide dasar model ini adalah mengadopsi model yang dicetuskan oleh Basset (1990).

Model strategik ini meliputi lima tahapan (bedakan dengan pentahapan CBT dalam uraian sebelumnya, yaitu :

1.    Organisational scanning. Persoalan pokok yang harus dikaji sebelum program pelatihan disusun adalah bagaimana organisasi dapat mencandra arah masa depan. Analisa strategis dapat menggunakan metode ” SWOT analysis ” atau cara lainnya organisasi mampu memahami secara sempurna tentang apa yang akan dapat dilakukan dan ke arah tindakan yang akan diambil

2.    Strategic Planning. Masalah selanjutnya adalah upaya organisasi untuk mampu menjawab pertanyaan tentang bagaimana semua tujuan dapat dicapai dan strategi manajerial apa yang bisa diaplikasikan.

3.    Competency profiling. Setelah semua pertanyaan  tersebut terjawab, kini saatnya organisasi menganalisis bagaimana sesungguhnya situasi kinerja internal human resources yang ada untuk dapat melaksanakan gagasan pencapaian tujuan organisasi tersebut. Kompetensi apa yang sudah dipenuhi dan yang belum? Kebutuhan apa yang terasa mendesak bagi pekerja? Analisis ini akan menuntun organisasi pada persoalan inti yang dihadapi pekerja.

4.    Competency gap analysis. Segera setelah melewati competency profiling, organisasi akan dapat memahami celah apa yang dapat dilihat antara  kompetensi manifes (yang ada saat ini) dengan kompetensi yang diharapkan untuk mencapai tujuan organisasi.

5.    Competency development. Kini saatnya organisasi menutup setiap celah perbedaan kompetensi manifes dengan kompetensi ideal dengan disertai upaya menjawab pertanyaan strategis seperti misalnya: apakah perlu organisasi merekrut tenaga baru yang memiliki kompetensi ideal dengan segala akibatnya, ataukah menyusun program pelatihan bagi karyawan yang sudah ada. Jawaban terakhir inilah yang memandu organisasi memasuki arena CBT.

Menurut Nankervis dan kawan-kawan. Setiap tahap strategik tersebut harus berkaitan dengan arah strategik organisasi secara total. Konsekuensinya manajer yang bertanggung jawab dalam manajemen sumber daya  manusia diminta untuk menjustifikasi penyusunan setiap program pelatihan dalam kaitannya dengan kontribusi riil yang dapat diberikan kepada kepentingan organisasi.

Problem CBT

Sekalipun demikian, pilihan sistem CBT bukanlah tidak mengandung sejumlah problem. Sejumlah ahli telah mengajukan argumentasi tentang berbagai masalah yang melekat dalam implementasi CBT. Umumnya kritik yang ditujukan pada pelaksanaan CBT meliputi isu-isu seperti berikut:

-       Validitas untuk menyamakan kompetensi dan kinerja riil sebagai fokus CBT patut dipertanyakan sementara ada sejumlah faktor lain yang diyakini memiliki pengaruh atas kinerja tersebut.

-       Terdapat lebih daripada sebuah sistem (CBT) yang secara benar dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja.

-       CBT diyakini juga menimbulkan ” kecanduan ” bagi peserta untuk membaca modul-modul yang menarik sementara sebetulnya modul itu tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan. Secara psikologis individu terpengaruh untuk membaca modul-modul yang tidak diperlukan tersebut karena modul tersebut menarik perhatian.

-       Kalangan yang pro CBT mengklaim bahwa sistem ini adalah sangat obyektif. Namun demikian sistem lain kenyataannya lebih obyektif dan bahkan validitasnya dapat diandalkan khususnya yang berkaitan dengan metode penilaian peserta.

Beberapa kritik yang muncul dirumuskan oleh John Stevenson (1993) yang menyatakan bahwa pelaksanaan CBT mengandung sejumlah problematik dimana konsep skill tidak direkonstruksikan secara tepat sementara substansi pemahamannya lebih ditekankan pada makna CBT itu sendiri.

Sekalipun terdapat sejumlah masalah dalam mengaplikasikannnya, tetap diyakini bahwa CBT merupakan bentuk ideal bagi sebuah forum pelatihan. Justru yang menjadi persoalan adalah bagaimana program pelatihan dengan segala sumber daya (finansial) yang dibelanjakan untuknya mampu membawa hasil yang optimal bagi kemajuan organisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Basset. M.D. 1990. The Rational Manager. Tata Mc Graw-Hill. New Delhi.

Irianto. J. 2000. Manajemen:Majalah bagi manejer dan eksekutif. Penerbit PT.Pustaka Binaman Pressindo.

Lunardi.A.G. 1984. Pendidikan Orang Dewasa. Penerbit PT ramedia Jakarta.

Nankervis, Campton & McCarthy. 1993. Modern Theory and Methode in Group Training. University Associates. La Jolla.

Pine.G.J & P.J.Horne. 1999. Principles and Condition for Learning in Adult Education. Paulist Press. New York.

Pitoyo dkk. 1989. Peningkatan keterampilan Manajemen. Pusdiklat Depnaker. Jakarta.

Raymond. J.S. 1995. Adult Education in Developing Countries. Pergamon Press. Oxford.

Tovey.M.D. 1997.Competency Based Training. NTL Institute for Applied Behavioral Science.

sumber gambar