Ayo Tanggap Gratifikasi !!!!
Oleh : Rizky Permana
“Pegawai negeri sipil di Kementerian X dipecat dari instansinya setelah terbukti menerima gratifikasi” Sering kita mendengar pemberitaan media massa baik cetak maupun elektronik . Namun apakah hal tersebut sesuai dengan aturan yang ada? Ada hal yang harus diperhatikan ketika istilah gratifikasi digunakan pada kalimat di atas. Apakah dengan menerima gratifikasi saja seseorang sudah dianggap melakukan perbuatan haram dan tidak bermoral, sehingga layak dipecat ? Padahal kita ketahui gratifikasi ada beberapa jenis. Untuk itu mari kita lihat dasar hukumnya.
Istilah gratifikasi pertama kali dikenal dalam UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Gratifikasi dalam Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) UU No. 20/2001 diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, yang sifatnya masih netral. Pemberian dalam bentuk apa pun, dengan nilai berapapun, dan dari siapa pun, kepada seorang pegawai negeri/penyelenggara negara, merupakan gratifikasi. Dengan demikian, dalam konstruksi Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) UU tersebut, warisan yang diterima oleh seorang pegawai negeri dari orang tuanya adalah gratifikasi. Begitu halnya nafkah yang diberikan seorang suami kepada isterinya yang kebetulan penyelenggara negara, adalah gratifikasi. Termasuk juga sepotong tempe goreng yang diterima seorang pegawai negeri dari rekan karib satu ruangannya saat mereka saling bertukar menu bekal makan siang, adalah gratifikasi. Karena itulah perlu ditegaskan, gratifikasi masih bersifat netral.
Gratifikasi akan menjelma menjadi suap ketika pemberian dalam arti luas tersebut berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban pegawai negeri/penyelenggara negara yang menerimanya. Terlepas dari motif pemberi untuk dikatakan sebagai suap, si penerima harus tahu secara sadar bahwa apa yang diterimanya memang berhubungan dengan jabatan sekaligus bertentangan dengan kewajibannya.Masalahnya adalah tidak semua pegawai negeri/penyelenggara negara ketika menerima sesuatu, punya kesempatan dan kesadaran serta pengetahuan yang sama untuk menilai bahwa apa yang diterimanya berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajibannya. Sebagai contoh, ketika seorang pegawai negeri menerima diskon yang cukup signifikan dari toko bangunan atau menerima voucher dalam jumlah besar dari travel agent belum tentu yang bersangkutan punya kesempatan, pengetahuan, dan kebijaksanaan untuk tahu bahwa diskon dan voucher yang diterimanya sebenarnya berhubungan dengan jabatannya dan bertentangan dengan kewajibannya.
Secara kebiasaan diskon dan voucher semacam itu merupakan hal wajar dalam transaksi sehari-hari sehingga sulit dikategorikan sebagai suap. Lalu bagaimana jika pegawai negeri itu adalah PPK yang sedang memimpin rehabilitasi dan toko tersebut ternyata rekanan pemenang lelang rehabilitasi di kantornya dan atau belakangan diketahui bahwa travel agent tersebut adalah langganan kantornya untuk pembelian perjalanan dinas.
Apabila pegawai negeri di atas punya mental teladan, maka jika semua potensi hubungan dan pertentangan antara berbagai pemberian tersebut dengan jabatannya diketahui sedari awal, pastilah gratifikasi tersebut akan tegas dia tolak, atau minimal dia pertanyakan. Untuk pegawai negeri semacam inilah pengaturan gratifikasi dalam Pasal 12 C UU No. 20/2001 dan Pasal 16-18 UU No. 30/2002 tentang KPK dibuat. Yaitu pegawai negeri yang menerima pemberian, dan berkeinginan mengetahui keabsahan pemberian tersebut, namun lantaran keterbatasan kesempatan, pengetahuan, dan kebijaksanaan, belum atau tidak mampu menentukan apakah pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya dan bertentangan dengan kewajibannya. UU memberi saluran bagi mereka untuk dalam waktu 30 hari sejak pemberian diterima, meminta bantuan pihak ketiga yang kompeten, dalam hal ini KPK, membuat penilaian atas pemberian tersebut dengan menyampaikan laporan gratifikasi.
Apasih manfaat apabila menerapkan peraturan tersebut ? Keuntungan yang didapat adalah peniadaan pidana, jika gratifikasi yang diterimanya ternyata memang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban (yang kita kenal sebagai dua unsur utama suap). Dan bahkan menerima gratifikasi tersebut secara halal dan legal jika ternyata KPK melalui analisanya menyatakan apa yang diterimanya bukanlah suap. Karena pada dasarnya sifat gratifikasi adalah netral, apalagi jika diyakini dan bisa dipertanggungjawabkan bahwa tidak ada unsur suap di dalamnya, yang antara lain bisa diindikasikan lewat ukuran kewajaran..
Namun perlu juga menjadi suatu kewaspadaan bahwa penyelenggara negara yang meyakini dan dapat mempertanggungjawabkan bahwa gratifikasi yang diterimanya adalah sah sekalipun, tetap harus bersiap menghadapi tuntutan hukum jika ternyata kemudian keyakinannya tersebut meleset. Antara lain jika pemberian yang diterima dari suami/isteri/orangtua misalnya, ternyata berasal dari pihak ketiga pemberi suap.
Untuk itu kewaspadaan dan awareness tentang gratifikasi perlu terus digalakkan dan ditanamkan secara pribadi dan konsisten sehingga potensi potensi pidana yang mungkin muncul dapat dilimitasi sedini mungkin