Posted in Berita on Sep 05, 2017.

Saring Sebelum Sharing

oleh MN Habibi*

Kasus pengungkapan Sindikat  Saracen yang aktif menyebarkan hoax Agustus lalu, semakin membuktikan kalau negeri ini berada dalam keadaan darurat hoax. Betapa tidak, kelompok Saracen saja memiliki 800.000 akun untuk menyebarkan informasi.Menurut Pakar Teknologi Informasi (TI) Ruby Alamsyah, jumlah tersebut  memiliki efek berganda yang luar biasa. Jutaan orang bisa dengan mudah terpapar informasi yang disebarkan melalui akun-akun tersebut.

Terungkapnya kelompok yang secara terorganisir menyebarkan hoax ini, menjadi bahaya yang nyata dalam keterbukan informasi di era dengan kemajuan TI seperti sekarang ini. Penyebar hoax, tidak lagi hanya sekadar iseng atau lucu-lucuan, tidak sekadar prakarsa individu, tapi sudah menjadi gerakan yang dijalankan secara profesional dan terprogram.

Padahal, akhir tahun 2016 saja, Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara menyatakan ada hampir 800.000 situs penyebar hoax. (CNN Indonesia, 29/12/2016). Tentu, saat ini, apalagi setelah terungkapnya jaringan Saracen, jumlah penyebar hoax di negeri ini sudah jauh lebih banyak. Inilah yang menyebabkan banjirnya hoax di Indonesia. Masyarakat makin sulit membedakan mana yang hoax mana yang tidak. Apalagi, seringkali ada anggapan, yang banyak dibicarakan itulah yang benar.

Dampaknya tentu sangat berbahaya. Informasi yang diterima khalayak, selain menambah sisi pengetahuan, sedikit banyak akan berpengaruh pada emosi, perasaan juga tindakan seseorang atau kelompok. Bayangkan jika seseorang setiap hari disuguhi hoax dari berbagai sumber, tentu saja cepat atau lambat ia akan terpengaruh. Apalagi jika di saat yang sama ia tidak mendapat informasi pembanding.

Bermacam akibat akan muncul jika hoax ini merajalela. Tidak hanya, sulitnya memperoleh berita atau informasi yang sahih, pergesekan sosial bahkan chaos akan mudah terjadi ketika hoax bermuatan ujaran kebencian dan provokasi begitu massif menerpa masyarakat.

Peran Pemerintah

Secara umum, pemerintah sudah memiliki perangkat hukum untuk menghadapi penyebaran hoax. Undang-undang  No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jelas-jelas memberikan rambu pergaulan di belantara dunia maya. Meski demikian, massifnya penyebaran hoax tidak cukup mengenakan proses hukum pada pelaku penyebaran hoax, seperti yang dilakukan pada Kelompok Saracen, atau beberapa individu yang kedapatan menyebarkan ujaran kebencian.

Harus ada upaya lebih jauh untuk menangkal penyebaran hoax. Salah satunya melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Vibliza Judiswara, Pengajar di STISIP Kartika Bangsa, Yogyakarta, menekankan literasi media kepada masyarakat yang dilakukan secara informal, maupun dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal.

Hal ini penting, mengingat masyarakat Indonesia yang cenderung suka bercerita dan berbagi cerita. Sehingga dengan mudah informasi yang diterima di-di sharing atau disebarkan kepada orang lain.  Secara tidak sadar, saat ini, masyarakat sudah menjadi wartawan warga (citizen journalist). Sehingga pemahaman literasi media yang meliputi sikap kritis dalam menerima dan memaknai pesan sudah terbangun. Selain itu masyarakat juga memiliki kemampuan untuk melakukan verifikasi dan menganalisis informasi yang diterimanya.

Kemampuan itulah yang nantinya akan mendorong masyarakat bisa melakukan self cencorship terhadap informasi yang di terimanya. Masyarakat bisa melakukan penyaringan informasi, mana informasi yang layak untuk disebarkan, dan mana yang tidak. Istilahnya, saring sebelum sharing.

Saringan Informasi

Tentu saja, untuk melakukan upaya verifikasi terhadap informasi yang diterimanya, masyarakat perlu informasi pembanding yang sahih, alat takar yang jelas, tools yang akurat. Di sinilah peran personal dari lembaga-lembaga terkait, biasanya pegawai yang bergerak di bidang kehumasan, untuk secara aktif memberikan informasi yang sahih kepada masyarakat.

Informasi yang disampaikan oleh Humas ini harus informasi yang benar-benar sahih, sehingga bisa dijadi kan alat ukur atau saringan atas informasi yang beredar. Informasi yang disampaikan bisa penjelasan atas suatu fenomena, atau klarifikasi atas kabar yang beredar. Diperlukan kemampuan untuk memantau isu yang berkembang dan menyampaikan isu yang sahih melalui beranekan channel komunikasi yang ada. Dan tentu saja, perlu ada semacam sumber atau portal yang dipercaya keabsahannya. Di sinilah peran website resmi lembaga yang harus dikembangkan.

Dengan demikian, masyarakat akan punya acuan jelas untuk memverifikasi informasi yang diterimanya. Sehingga upaya saring sebelum sharing bisa dilakukan, karena saringan informasinya sudah tersedia.

*Penulis adalah Pranata Humas di Pusat Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian.

 

Referensi:

Juliswara, Fibriza. 2017. Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial, Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2 , Agustus 2017.

Abner, dkk. (2017, 03 Juli). Penyalahgunaan Informasi/Berita Hoax di Media Sosial, https://mti.binus.ac.id/2017/07/03/penyalahgunaan-informasiberita-hoax-di-media-sosial/

Kasus Saracen: Pesan kebencian dan hoax di media sosial 'memang terorganisir'. (2017, 24 Agustus) https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41022914

Mengapa Berita Hoax mudah Menyebar? (2017, 27 Juli). https://nationalgeographic.co.id/berita/2017/07/mengapa-berita-hoax-mudah-menyebar