Peran Humas dalam Layanan Informasi Publik
Oleh MN Habibi*
Berlakunya Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mengubah paradigma layanan informasi di negeri ini. Jika sebelumnya, infomasi pemerintahan bersifat terbatas, maka setelah pemberlakuan Undang-undang tersebut, setiap Badan Publik harus membuka luas-luas informasi kepada publik. Maximum Acces Limited Exemtion (MALE), begitulah istilahnya.
Prinsip MALE ini menjungkirbalikkan paradigma akses informasi yang selama ini dipraktikkan. Kemudahan akses terhadap informasi dengan sedikit pengecualian ini tentu saja, mengubah banyak hal. Badan Publik, yang dalam UU KIP didefinisikan sebagai semua lembaga yang baik sebagian atau keseluruhan dananya berasal dari APBN, APBD, sumbangan masyarakat, atau bantuan dari luar negeri, wajib membuka informasinya kepada publik.
Undang-undang ini memaksa setiap Badan Publik, mempraktikkan pemerintahan yang baik dan bersih, transparan dan akuntabel (good and clean governance, transparency, and accountable), seperti yang telah banyak didengungkan sebelumnya. Badan Publik diharuskan secara aktif menampilkan informasi yang akurat kepada masyarakat secara terbuka melalui sarana publik yang dimilikinya.
Ada tiga jenis informasi publik yang wajib disediakan oleh Badan Publik. Pertama, Informasi Berkala, yaitu informasi yang wajib diumumkan secara berkala. Informasi ini memuat profil lembaga, program dan kinerja, laporan anggaran dan pengelolaan keuangan, termasuk informasi tata cara untuk mengakses informasi yang dimiliki oleh Badan Publik tersebut.
Kedua, Informasi Serta Merta, yakni informasi yang wajib disampaikan kepada masyarakat terkait dengan hajat hidup atau kepentingan masyarakat banyak. Misalnya informasi tentang bancana alam, kerusuhan, pemadaman listrik, pengalihan jalur transportasi dan sejenisnya.
Ketiga, Informasi Setiap Saat, yaitu informasi yang tidak diumumkan namun tersedia jika ada yang meminta atau membutuhkannya. Kebijakan internal Badan Publik, perjanjian dengan lembaga lain, maupun prosedur kerja yang diterapkan, adalah informasi yang masuk dalam kategori ini.
Diharapkan dengan keterbukaan informasi sebagai dampak pelaksanaan UU KIP, tingkat kepercayaan dan partisipasi publik terhadap pengelolaan pemerintah makin meningkat. Harapannya, masyarakat akan turut bergerak mendukung dan menjadi pendorong gerak pembangunan yang diinisiasi Badan Publik. Masyarakat tidak lagi hanya menjadi objek pembangunan, tapi turut serta menjadi penggerak pembangunan.
Di sisi lain, UU KIP ini juga memberikan rambu yang jelas kepada masyarakat, terkait mekanisme hingga tarif dan waktu dalam akses informasi ini. Kejelasan persyaratan dan mekanisme yang ditetapkan secara sama di semua lembaga, menjamin masyarakat bisa mendapatkan haknya yang secara bersamaan menunaikan kewajibannya sebagai pemohon informasi.
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi
Dalam pelaksanaan keterbukaan informasi publik ini, UU KIP juga mensyaratkan adanya pejabat yang khusus mengelola layanan informasi publik. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) demikian istilahnya. Pejabat inilah yang diberi tugas untuk melakukan penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan dan/atau pelayanan informasi di Badan Publik. Dalam melaksanakan tugasnya, PPID dibantu oleh pejabat fungsional tertentu atau petugas lainnya.
Di Kementerian Pertanian, secara umum fungsional tertentu yang dilibatkan dalam pengelolaan informasi publik, terdiri dari pranata humas, pranata komputer, arsiparis, pustakawan, dan pejabat fungsional penyusun peraturan perundangan.
Di sisi ini sudah tergambar pembagian tugas masing-masing, pranata humas biasanya menjadi ujung tombak untuk melakukan layanan informasi kepada pemohon. Arsiparis dan Pustakawan, menjadi andalan untuk penyimpanan dan pendokumentasian informasi publik. Sementara pranata komputer bertugas mengembangkan system berbasis Teknologi Informasi untuk memudahkan baik pemohon untuk mengakses informasi, maupun bagi tim PPID untuk memberikan layanan. Sedangkan pejabat fungsional perancang peraturan perundangan, erat kaitannya dengan aspek hukum dari pelaksanaan layanan informasi.
Peran Humas
Dalam arahannya pada Pertemuan Tahunan Badan Koordinasi Kehumasn Pemerintah (Bakohumas), tahun 2012 lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Tifatul Sembiring mengatakan bahwa dalam mewujudkan open government sesuai cita-cita UU KIP, Humas harus mampu berperan sebagai Value Indicator. Humas harus mampu memelihara nama baik institusi. Ini diwujudkan dalam standar layanan informasi publik bersahabat dan professional.
Humas, menurut Tifatul, juga harus mampu berperan sebagai value enhancer yang menyampaikan nilai-nilai positif secara kontinyu kepada masyarakat. Humas juga harus mampu menjadi value enabler yang memungkinkannya memberikan nilai positif kepada masarakat melalui proses secara internal maupun eksternal.
Di sinilah humas tidak hanya harus meningkatkan kualitas layanan informasinya, tapi lebih jauh lagi, bisa mengatur antara supply (penyediaan) informasi, dengan demand (kebutuhan) masyarakat. Dengan demikian, sebagai petugas layanan informasi, humas tidak hanya berhubungan dengan pemohon informasi, namun bisa menularkan nilai positif yang mengundang masyarakat berpastisipasi aktif mendukung program yang dijalankan oleh Badan Publik dimana ia beraktivitas.
*Penulis adalah Pranata Humas di Pusat Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian
Referensi
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik
Sembiring, Tifatul. 2012. Naskah Keynote Speaker Menteri Komunikasi dan Informatika pada Pertemuan Tahunan Bakohumas Tingkat Nasional Tahun 2012, Makassar, 6 November 2012